Teori Dasar Ilmu Pemerintahan
Teori dasar ilmu pemerintahan adalah teori-teori
yang membentuk pemerintahan. Pemerintahan pada awalnya dibentuk untuk
menghindari keadaan dimana sebuah wilayah mengalami kekacauan. Keadaan itu
kemudian memaksa lahirnya seseorang dengan pengaruh yang ditimbulkannya untuk
membentuk kelompok yang terkuat bagi upayah menetralkan dan melindungi suatu
kelompok dari gangguan kelompok lain. Dalam perkembangannya, kelompok inilah
yang kemudian menjadi kelompok istimewa untuk melakukan apa saja bagi
kepentingan perlindungan dan penyelamatan masyarakat. Kelompok tersebut pada
tahap selanjutnya menjadi minoritas yang memiliki otoritas tak terbatas, dengan
tujuan yang dapat mereka ciptakan atas nama kelompok mayoritas (rakyat). Atau
bahkan atas dasar keinginan dan kehendak mereka sendiri. Kelompok tersebut
kemudian menjadi pihak yang mengklaim diri sebagai satu-satunya yang paling
berhak memerintah, atau “Pemerintah”. Pemerintah kemudian diartikan sebagai
kelompok orang yang bertanggungjawab atas pengunaan kekuasaan/excercising power
(the international encyclopedia of social science, 1947).
Aktivitas pemerintah dalam upayah memelihara
kedamaian dan keamanan Negara kemudian menjadi kewenangan utama, baik secara
internal maupun eksternal. Dalam keadaan demikian, max weber menyimpulkan bahwa
pemerintah tidak lain merupakan apapun yan gberhasil menopang klaim bahwa
dialah yang secara ekslusif berhak menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan
aturan-aturannya dalam suatu wilayah tertentu (Dahl, 1994:13). Atas konsekuensi
ekslusifisme tersebut, sebuah pemerintahan membutuhkan paling tidak tiga hal
pokok menurut C.F. Strong, yaitu pertama, memiliki angkatan perang sebagai satu
kekuatan militer yang mampu mempertahankan Negaranya dari serangan dan invasi
Negara lain. Kedua, pemerintahan harus memiliki suatu lembaga yang bertanggung
jawab secara legislative dalam membuat hokum bagi proses penyelenggaraan
pemerintahan, dan ketiga, pemerintahan harus memiliki kemampuan keuangan yang
memadai bagi upayah membiayai penyelenggaraan rumah tangga suatu Negara.
Dengan kewenangan pokok yang dilakukan oleh
pemerintah sebagai sebuah organisasi dari negara, W.S.Sayre meyakini bahwa
pemeritah merupakan sebuah gejala yang memperlihatkan dan menjalankan kuasaan
negara. Kendatidemikian, Wilson menganggap bahwa apa yang menjadi persyaratan
awal oleh Strong tentang perlunya kekuatan militer tidaklah selalu berhubungan
dengan organisasi kekuatan bersenjata, tetapi dua atau sekelompok orang dari
sekian banyak yang dipersiapkan oleh suatu organisasi dalam upaya mewujudkan
tujuan bersama menyangkut urusan umum kemasyarakatan cukuplah menjadi syarat
dalam pengorganisasian kekuatan. Dalam keseluruhan sistem tersebut, pemerintah
menurut Apter merupakan satuan yang paling umum untuk melakukan tanggung jawab
tertentu guna mempertahankan sistem serta melakukan monopoli praktis lewat
kekuasaan secara paksa. Apter cenderung melihat kondisi tersebut sebagai suatu
gejala kekuasaan semata sehingga pemerintah dipandang sah dalam melakukan
intervensi secara monopoli sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kepentingan
urnurn. Bahkan apa pun dapat dilakukan guna mempertahankan sistem yang telah
dibangun secara bersama.
Dalam pendekatan yang berbeda, di mana institusi
keluarga menjadi sebuah miniatur pemerintahan, Mac Iver mendudukan pemerintahan
sebagai sebuah organisasi dari sekelompok orang yang memiliki kekuasaan, dimana
melalui kekuasaan tadi manusia dapat diperintah. Bahkan ia juga meHhat pemerintahan
sebagai sebuah perusahaan besar dari segala perusahaan manusia yang ada.
Pengembangan lebih lanjut atas konsep pemerintahan oleh Mac lver sesungguhnya
lahir dari pendekatan oleh banyak filosof politik sebelumnya sebab bagaimanapun
dapat dipahami bahwa konsep pemerintahan dengan segala kelebihan maupun
kekurangannya tetap diakui merupakan bagian dari kajian Ilmu Politik pada skala
makro. (Labolo, 2007 : 15-18)
Berhubungan dengan itu, dalam pandangan politik,
pemerintahan dipahami sebagai bagian dari tiga cabang kekuasaan sebagaimana
yang dikembangkan lewat Trias Politica oleh Montesquei. Selain legislatif dan
yudikatif, cabang eksekutif dianggap merupakan pengertian pemerintahan dalam
arti sempit. Pengkhususan tersebut mengandung konsekuensi atas pertanyaan
selanjutnya tentang bagaimana proses pemerintahan dalam arti sempit tadi dapat
bekerjasecaraefektifdi tengah-tengahmasyarakat. Persoalan ini tak kurang telah
merangsang sekelompok sarjana di bidang administrasi negara untuk menguraikan
bagaimana konsep pemerintahan sebagai suatu ilmu dapat bekerja melalui
lembaga-lembaga yang ada selaku pelaksana setiap kepurusan politik. (Labolo.,
2007 :18-19)
Pendistribusian setiap kewenangan yang ada ke dalam
struktur-struktur pemerintahan menjadi sebuah hal yang menarik di mana sebuah
pemerintahan dapat dilihat sedang berproses mencapai tujuan-tujuan awalnya.
studi pemenritahan yang menunjukkan cara kerja baik secara internal maupun
eksternal di mana struktur dan proses pemerintahan secara umum berlangsung disimpulkan
oleh Rosenthal sebagai suatu pengertian atas kekhususan ilmu pemerintahan pada
wilayah administrasi. Pandangan Rosenthal cukup sulit untuk dikembangkan,
kendatipun dapat dipahami bahwa gejala pemerintahan merupakan.suatu proses yang
bersifat internal maupun eksrernal dan berjalan secara sustainable
(berkelanjutan). Sampai dengan proses tersebut berlangsung, pemerintahan masih
merupakan suatu gejala. Jika tidak, pemerintahan sepertinya bukanlah sesuatu
yang dapat didefinisikan lagi. Pengertian demikian menjadi inspirasi kuat bagi
Rasyid, di mana gejala pemerintahahan merupakan sesuatu yang dapat dirasakan
ketika seseorang merasa terlindungi di mana pun setiap warga Negara melakukan
aktivitasnya. Artinya, kondisi tadi menunjukan bahwa pemerintahan sedang
berproses, sekalipun tak dapat diamati secara langsung.
Kita dapat menyimpulkan saja bahwa pemerintahan
sesungguhnya masih ada, atau sedang bekerja (berproses). Bersamaan dengan
Rosenthal, Brasz melihat gejala yang sama walaupun dapat ditafsirkan secara berbeda,
di mana apa yang menjadi kesimpulan akhir Brasz mengenai pemerintahan merupakan
suatu ilmu tentang bagaimana suatu lembaga pemerintahan umum. Disusun dan
difungsikan sehingga mengikat secara internal dan eksternal pada warga Negara.
Pandangan demikian lebih cenderung menegaskan suatu pola bagaimana politik
pemerintahan sebagai aliran ketiga dapat dikembangkan. Sebab dengan disusunnya
suatu lembaga pemerintahan umum yang secara sah mengalokasikan otoritasnya
sehingga mengikat secara internal maupun eksternal tentulah menunjukkan proses
bagi bekerjanya suatu pemerintah. Brasz tentulah melihat pemerintah sebagai
satu-satunya institusi yang berhak menjalankan otoritasnya, tanpa melihat siapa
yang dihadapi oleh pemerintah itu sendiri. Pandangan ini membuat institusi
pemerintahan hanyalah seonggok institusi tanpa lahan, atau mungkin saja
keseluruhan lahan tadi merupakan cakupan dari pemerintahan itu sendiri.
Ilustrasinya, seseorang yang akan membuat sebuah roti dengan berbagai bahan
campuran yang kemudian rela tidak diberi titel dari masing-masing bahan tadi,
tetapi nama baru yang merepresentasikan keseluruhan dengan nama roti A atau B.
(Labolo., 2007 :19-20)
Harus dipahami bahwa pandangan Brasz merupakan
pandangan yang sarna dalam pendekatan politik ketika ia masih berada dalam
lingkup pendekatan yang bersifat institusional, di mana Ilmu Politik masih
dipandang sebagai suatu perilaku dari institusi negara yang bersifat statis.
Dalam perkembangan yang lebih jauh, banyak disiplin ilmu yang sampai pada pendekatan
post-behaviouralisme, tak terkecuali Ilmu Pemerintahan. Hal itu dapat kita
lihat pada pikiran mendasar Van de Spigel, yang dielaborasi oleh generasi
selanjutnya, yaitu Van Poelje. Dalam pandangannya, Poelje menjelaskan bagaimana
sebaiknya pemerintah itu melakukan penyusunan lembaga-lembaganya (dalam bentuk
dinas-dinas) termasuk bagaimana kepemimpinan didalamnya dapat dilakukan dengan
sebaik-baiknya.
Pandangan Poelje memberi indikasi tentang penyiapan
suprastruktur untuk menyelesaikan masalah yang beragam sehingga dibutuhkan
dinas-dinas secara spesifik serta bagaimana rotasipada tingkat elite dapat
diloakukan secara damai. Artinya, pandangan Poelje memperjelas pada kita bahwa
ilmu pemerintahan tidak saja berfokus pada bagaimana menyelesaikan persoalan di
masyarakat secara teknis, tetapi juga berbicara tentang pentingnya kepemimpinan
dengan segala bentuk dan konsekuensinya. Jika disimpulkan secara sederhana,
pandangan poelje sesungguhnya berbicara tentang dua level utama, yaitu
bagaimana memecahkan masalah "yang diperintah" dan bagaimana masalah
"yang memerintah". Masalah yang diperintah dipecahkan dengan
membentuk dinas-dinas secara terspesialisasi (openbaaredienst), sedangkan
rnasalah yang memerintah dilakukan dengan rotasi kepemimpinan yang baik.
Fenomena tersebut menjadi sandaran yang kuat di mana
antara gejala pemerintahan dan politik menjadi sesuatu yang sulit untuk
dielakkan. Bagaimanapun, Poelje telah menanamkan pengertian Ilmu Pemerintahan
yang paling mungkin untuk digaris bawahi, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang
bertujuan untuk memimpin hidup bersama manusia ke arah kebahagiaan yang
sebesar-besarnya tanpa merugikan orang lain secara tidak sah. (Labolo., 2007
:20-22)
Referensi:
Brasz, Inleiding Tot de bestuurswetenscap, (leiden:
Vuga Boe Kerij, 1995), hlm.1
C.F.Strong dalam Sidgwick & Jackson Ltd, Modern
Political Constitution, London, 1960, hlm. 6
G.A.Van Poelje dalam Ndraha. 1997, hIm. 15
Labolo, Muhammad, 2007, Memahami Ilmu Pemerintahan
Sebuah Kajian, Teori, Konsep, Dan Pengembangannya. Jakarta: PT. Raja Frafindo
Persada
Mac Iver, dalam Miriam B, Teori Politik Masa Kini,
1999.
Mac Iver, The Web of Government, (New York:The Mac
Millian Company, 1947).
Poelje,Algeme Inleiding Tot de Bestuurkunde, Alphen
Aan Den Rijn, N Samson NY, 1953,
Rosenthal. Opebaar Bestuur.Samson HDJeenk Willink
Aphen Aan 9Den Rijn Leiden, 1978, hlm. 17.
W.S.Sayre dalam Inu Kencana Syafiie, Ekologi
Pemerintahan,( Jakarta: PT. Pertja, 1998), hIm. 4.
W.Wilson, The State, 1903, hIm. 3
0 komentar:
Posting Komentar